Selasa, 25 Maret 2014
Romawi Kuno/Filsafat
Orang Romawi mulai
mempelajari filsafat sejak sekitar 200 SM. Ketika itu, bangsa Romawi menaklukan
Yunani, karena itu banyak prajurit dan jendral Romawi yang melakukan kontak
dengan para filsuf Yunani.
Bangsa Romawi menyadari bahwa filsuf Yunani semacam Sokrates,
Plato, dan Aristoteles telah banyak berkontribusi untuk filsafat. Beberapa
orang Romawi menjadi tertarik, dan pada sekitar 50 SM, orang Romawi mulai
menulis filsafat mereka sendiri, meskipun sebagian besarnya masih merupakan
terjemahan dari bahasa Yunani ke bahasa latin. Sementara itu Perempuan tidak
diperbolehkan belajar filsafat.
Salah satu orang Romawi pertama yang menulis mengenai filsafat
adalah Lucretius. Dia mengikuti pandangan filsafat Epikurean Yunani. Dia
menulis sebuah syair panjang berjudul Sifat
Benda, yang menjelaskan mengenai filsafat Epikurean dalam bahasa latin
untuk orang yang tidak bisa berbahasa Yunani.
Filsuf Romawi lainnya adalah Cicero, yang menulis filsafat pada
waktu yang hampir sama dengan Lucretius. Cicero merupakan filsuf skeptis.
Seperti orang Skeptis lainnya, Cicero berpikir bahwa kita harus mempertanyakan
setiap gagasan atau fakta yang kita dapatkan, dan harus selalu bertanya,
"Bagaimana mereka tahu itu?" atau "Bagaimana mereka yakin?"
atau "Bagaimana dengan hal lainnya?". Cicero mencoba menggunakan
filsafat untuk membuat manusia berpikir lebih logis, supaya mereka bisa lebih
baik dalam membuat keputusan dalam pemerintahan. Namun Cicero juga mengikuti beberapa
gagasan Stoik, terutama bahwa manusia harus mencoba menjadi sebaik mungkin.
Kira-kira seratus tahun kemudian, pada masa kaisar Claudius dan
Nero, seorang filsuf bernama Seneca menulis esai mengenai filsafat Stoik.
Seneca beranggapan bahwa manusia tidak boleh menghabiskan waktu untuk hal-hal
yang tidak penting. Manusia seharusnya mempergunakan waktunya dengan baik,
membuat dunia menjadi lebih baik, dan memperluas pemikiran dengan mempelajari
filsafat.
Pada masa-masa akhir Kekaisaran Romawi, banyak pria dan wanita yang
mulai berpikir tentang dunia dalam sudut pandang Nasrani. Santo Augustinus dan
Santo Ambrosius mempelajari filsafat dari masa sebelumnya dan berusaha
menciptakan filsafat Nasrani yang bisa mencakup gagasan Nasrani maupun filsafat
Yunani dan Romawi. Setelah Kekaisaran Romawi runtuh, orang-orang tetap berpikir
mengenai gagasan tersebut, bahkan ada beberapa perempuan juga. Baik di
Kekaisaran Islam maupun Eropa Abad pertengahan, orang-orang seperti Maimonides
dan Dante terus berusaha menyatukan agama dengan filsafat.
Perkembangan Pendidikan Romawi
Pendidikan
Romawi tampak lebih sederhana dan lebih disesuaikan dengan kebutuhan negara
jika dibandingkan dengan pendidikan Yunani. Roma yang pada awalnya adalah
negara petani, mengalami dua masa yang masing-masing berbeda baik tujuan maupun
alat-alat pendidikannya, yaitu jaman Romawi lama dan jaman Romawi baru
(Hellenisme).
1) Jaman
Romawi Lama
Pendidikan
pada jaman ini bertujuan membentuk warganegara yang setia dan berani, siap
berkorban membela kepentingan tanah airnya. Diutamakan pembentukan warganegara
yang cakap sebagai tentara. Pendidikan diselenggarakan oleh keluarga, dan
merupakan pendidikan bangsawan bukan pendidikan rakyat. Materi pelajarannya
meliputi membaca, menulis, dan berhitung. Pendidikan jasmani dan kesusilaan
menjadi prioritas. Hasil pendidikan dinilai baik, karena:
a) Kebiasaan
aturan dalam rumah tangga yang keras, ayah mempunyai kekuasaan mutlak dan
anak-anak patuh pada perintahnya;
b) Kedudukan
ibu hampir sama dengan kedudukan ayah, ia menjadi pemelihara rumah tangga;
c) Agama
mempunyai pengaruh besar, orang romawi percaya dikelilingi oleh dewa-dewanya;
d) Anak-anak
mempelajari undang-undang negaranya, menganggapnya sakti dan tidak melanggar.
2) Jaman
Romawi Baru (Helenisme)
Hellenisme
adalah aliran kebudayaan yang diciptakan oleh ahli-ahli filsafat Yunani
(Hellas). Sejak saat itu bangsa Romawi mulai menyadari arti penting ilmu
pengetahuan. Dengan demikian maka tujuan pendidikan mengalami perubahan: untuk
pembentukan manusia yang harmonis. Pendidikan rasio dan kemanusiaan (humanitas)
menjadi prioritas. Organisasi sekolah yang dibentuk meliputi:
a) Sekolah
rendah : pelajarannya membaca, menulis, dan berhitung. Musik dan menyanyi tidak
mendapat perhatian;
b) Sekolah
menengah : pelajarannya ilmu pasti, ilmu filsafat, dan kesusasteraan klasik;
c) Sekolah
tinggi : diberikan keahlian pidato, hukum, dan undang-undang.
Pendidikan
menjadi kehilangan sifat praktisnya dan rakyat Roma mulai berpedoman kepada
filsafat. Pada perkembangan selanjutnya Romawi terbawa oleh arus aliran
filsafat yang berdampak cukup besar bagi pendidikan Roma, yaitu Epicurisme
(dipelopori Epicurus 341-270 SM), dan aliran Stoa (dipelopori Zeno 336-264 SM).
Aliran Epicurisme berpendapat hahwa kebahagian akan terwujud manakala manusia
menyatu dengan alam. Aliran Stoa berpendapat bahwa tujuan hidup adalah mencapai
kebajikan. Kebajikan itu akan terwujud apabila manusia dapat menyesuaikan diri
dengan alamnya, karena manusia adalah bagian dari alam. Sedangkan alam itu
sendiri dikuasai oleh budi Ilahi. Karena manusia merupakan bagian dari alam,
maka di dalamnya terkandung sebagian dari budi ilahi itu. Jadi tidak ada
perbedaan antara alam dengan Tuhan, dan alam adalah Tuhan dan Tuhan adalah
alam, yang disebut juga panteisme (pan: seluruh, semua; theos: Tuhan). Sehingga
hidup sesuai dengan alam berarti hidup sebagai manusia berakan dan berbudi.
Dengan
munculnya dua faham tersebut cita-cita atu tujuan Romawi berubah dari
rnembentuk manusia sehat kuat untuk membela tanah air (kebajikan kepahlawanan)
menjadi membentuk manusia yang bijaksana dan berakal budi (kebajikan
kemanusian/humanitas).
FILSUF -
FILSUF PENDIDIK YUNANI DAN ROMAWI
a.
Filsuf Yunani
1. Pythagoras
(580-500 SM)
Tujuan
pendidikan: membentuk manusia susila dan beragama. Beberapa cita-cita yang
menjadi dasar pendidikannya:
a) hanya
jiwa yang berharga, bukan badan;
b) jiwa
berasal dari dewa-dewa dan hidup terus jika badan telah mati;
c) sejak
kecil manusia mempunyai kecenderungan untuk berbuat jahat, pendidikan harus
membawa manusia ke arah kesempurnaan;
d) kesempurnaan
adalah kebajikan, yaitu keselarasan antara jiwa dan raga, harmoni dalam
hubungan antara manusia, harmoni pula dalam negara.
2. Socrates
(469-399 SM)
Merupakan
tokoh yang melawan ajaran sofisme. Ia berpendapat bahwa yang menjadi ukuran
segala-galanya bukan manusia melainkan ke-Tuhanan (theosentris, theo:
Tuhan). Berlawanan dengan Pythagoras, Socrates percaya bahwa manusia mempunyai
pembawaan untuk berbuat baik. Socrates berpendapat bahwa ilmu adalah sumber
dari kebajikan, oleh karena itu ia dianggap perintis kaum Philantropin: cinta
pada sesama manusia.
Dalam
pelaksanaan pengajarannya, dia melakukan dialog, percakapan, dan tanya jawab
dengan masyarakat di jalan-jalan, di taman, dan pasar. Socrates selalu
mengajarkan bahwa manusia itu berpengetahuan hanya dalam sangkaannya saja,
padahal yang sebenarnya mereka tidak tahu apa-apa, dan mereka akhirnya sampai
pada kesimpulan bahwa mereka hanya mengetahui satu hal, yaitu bahwa mereka
tidak tahu apa-apa. Dengan begitu maka pada diri manusia itu tumbuh keinginan
untuk mengetahui yang sebenarnya. Dengan jalan induksi, mereka dibawa kepada
ilmu yang sebenarnya (menarik kesimpulan sendiri). Beberapa jasa Socrates:
a) pelopor
dari ilmu kesusilaan. Ia berpendapat bahwa filsafat merupakan alat untuk
mencapai kebajikan;
b) pelopor
dari ilmu mengenai pengertian-pengertian. Ia berusaha selalu mencari hakikat
dari benda-benda, yakni pengertian-pengertian;
c) Pythagoras
dan Socrates adalah peletak dasar paedagogik moral.
Pada
akhir hidupnya, Socrates dijatuhi hukuman minum racun oleh hakim, apabila ia
tidak bersedia menarik kembali ajarannya. Socrates dianggap telah merusak
akhlak pemuda, dan difitnah oleh kaum sofis telah mengajarkan dewa-dewa baru
dan membelakangi dewa-dewa resmi.
3. Plato
(427-347 SM)
Plato
adalah murid Socrates. Ia adalah seorang bangsawan. Saat Socrates dijatuhi
hukuman minum racun Plato melarikan diri dan mendapat perlindungan dari
keluarganya.
Sistem
pendidikan yang lengkap dan merupakan bagian dari ajaran ketatanegaraan pertama
disusun oleh Plato, ia adalah seorang pengarang pertama di Yunani. Tujuan pendidikan
menurut Plato adalah: membentuk warga negara secara teoritis dan praktis.
Setiap manusia bertugas untuk mengabdikan kepentingannya kepada kepentingan
negara. Oleh sebab itu pendidikan harus diselenggarakan oleh negara dan untuk
negara. Dengan prinsip tersebut Plato disebut sebagai pencipta Pendidikan
Sosial. Ia berpendapat bahwa kesulitan-kesulitan politis dapat diatasi apabila
ada keadilan. Keadilan akan terwujud bila setiap orang melaksanakan tugas
sebaik-baiknya. Dengan demikian tujuan pendidikan itu selanjutnya adalah untuk
membentuk negara susila yang berdasarkan keadilan (Lebih lanjut dapat dibaca
dalam Achmadi, 1987).
Dalam
pendidikan moral, Plato berpendapat bahwa anak-anak telah dapat melakukan suatu
perbuatan meskipun mereka belum sanggup menyadari atau memahaminya. Sehingga
pendidikan harus dimulai sejak kecil, yaitu dengan pembiasaan dan kemudian
pengajarannya.
Pengaruh
plato sangat besar, misalnya dalam pemerintahan gereja abad pertengahan.
Meskipun dipengaruhi oleh bangsa Yahudi, namun pemerintahan gereja sangat platonis.
4. Aristoteles
(384-322 SM)
Ia
adalah murid dari Plato dan telah berguru selama 20 tahun. Bukunya yang
terkenal mengenai cita-cita pendidikan adalah: Politica dan Anima. Seperti
halnya dengan Plato, maka Aristoteles pun menghendaki pendidikan negara.
Cita-cita
pendidikannya: kebajikan itu diperoleh dengan jalan aman, melalui pengalaman,
pembiasaan-pembiasaan, akal budi, dan pengertian. Pendidik harus mempelajari
dan memimpin pembawaan dan kecenderungan anak-anak. Dengan latihan dan
pembiasaan mereka diajar melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan yang
buruk. Menurutnya sumber pengetahuan adalah pengalaman, pengamatan, yang
menghasilkan bahan untuk berpikir. Dalam satu hal ia sefaham dengan J. Locke,
bahwa jiwa seseorang pada waktu dilahirkan tidak berisi apa-apa (tabula rasa).
Pendidikan formal menurutnya berakhir
pada usia 21 tahun, dan periode ini terbagi menjadi 4 bagian:
a) pendidikan
sampai dengan usia 5 tahun;
b) pendidikan
sampai dengan usia 7 tahun;
c) pendidikan
sampai dengan usia pubertas;
d) pendidikan
sampai dengan usia 21 tahun.
Dalam
prinsipnya, sebelum usia 5 tahun, hendaknya pendidikan bersifat sewajarnya,
disesuaikan dengan keadaan anak. Membaca, menulis, ilmu hitung, gymnastic, dan
musik dianggap sebagai mata pelajaran untuk latihan kejiwaan. Gymnastic dan
musik adalah yang paling penting, sebab mempunyai akibat pembersihan jiwa, dan
nafsu-nafsu yang tidak baik dan mengembangkan perbuatan baik sesuai dengan
tuntunan moral. Menurut Aristoteles, karena pendidikan adalah soal universal, maka
pendidikan dilakukan oleh negara.
c.
Filsuf Romawi
1. Seneca
(meninggal 65 SM)
Seneca
merupakan tokoh pendidik lain di jaman Romawi baru. ia adalah seorang kaisar
Nero, juga seorang ahli filsafat dan moralis yang terkenal. Beberapa petunjuk
tentang pengajaran yang diberikan adalah:
a) Kita
mengajar tidak untuk sekolah, tetapi untuk kehidupan;
b) Panjang
jalan melalui perintah, singkat jalan melalui teladan;
c) Dengan
mengerjakan, kita menjadi paham.
2. Quintilanus
Quintilanus
adalah seorang profesor ilmu pidato yang terkenal. Ia adalah seorang Spanyol
yang tinggal di Roma. Ia menjadi terkenal karena menulis buku “Instituo
Oratorio” (pendidikan menjadi ahli pidato). Dia berpendapat bahwa jika suatu
saat seorang anak memperlihatkan kesalahan-kesalahannya, maka hal itu adalah
akibat dari pendidikan yang salah. Dalam hal ini ia sependapat dengan JJ.
Rousseau, bahwa semua manusia itu baik sejak lahir. Pendapatnya tentang
pendidikan:
a) pendidikan
harus diberikan secepatnya, sejak dari keluarga. Harus dicari pengasuh yang
berbudi baik dan berilmu dan dapat menjadi contoh. Sebab kesan pertama yang
diterima oleh anak berpengaruh besar sekali bagi perkembangan selanjutnya;
b) kelak
anak itu harus bersekolah, karena: di sana ia akan merasa lebih bebas, dapat
belajar banyak dari teman-temannya, dan ada suasana bersaing yang sehat.
c) Guru
harus dapat mempelajari sifat-sifat dan pembawaan masing-masing anak, agar
dapat mengembangkannya dengan baik;
d) Mengajar
hendaknya tidak terlalu cepat, anak ibarat botol yang kecil lehernya, jika
diisi terlalu banyak akan terbuang sia-sia;
e) Pelajaran
hendaknya diselingi dengan permainan, supaya guru dapat memperoleh pandangan
yang lebih baik tentang budi pekerti anak-anak;
f) Gaya
bahasa yang digunakan harus menarik perhatian anak-anak, lebih baik agak berani
dan banyak fantasi;
g) Teknik
mengajar harus lunak, tidak terlalu keras, tidak banyak mencela, tapi jangan
pernah pula terlalu banyak memuji. Tidak boleh memberi hukuman fisik, sebab
dengan memukul, jiwa anak akan rusak karena merasa malu;
h) Pada
pelajaran membaca, anak-anak diberi huruf dari gading, dan mereka disuruh
membuat bermacam kata dari huruf itu;
i) Pada
pelajaran menulis, sebuah meja dipahat huruf timbul dan mereka disuruh
mengikuti huruf-huruf itu.
j) Pada
pelajaran mengarang anak-anak harus mengarang seperti sedang bercakap-cakap.
Bahan dan bahasa dari pengalaman pribadi anak;
k) Quintillanus
menganggap daya ingat itu sangat penting, oleh sebab itu harus dilatih dengan
baik. Setiap hari anak harus menghafal di luart kepala hal-hal yang menarik,
sesudah itu hal-hal yang kurang menarik, mula-mula mekanis, sesudah itu logis.
l) Dalam
organisasi sekolah, sesudah sekolah permulaan yang memberikan
pelajaran-pelajaran pokok, anak kemudian mengunjungi sekolah menengah, di mana
diajarkan bahasa Yunani, baru kemudian bahasa Latin. Setelah itu pelajaran
dilanjutkan ke Sekolah Tinggi. Mata pelajaran yang diberikan adalah:
1) trivium:
gramatika (bahasa), filosofi, dan retorika;
2) quadrivium:
musik, geometri, arithmetika, dan astronomi. Ketujuh mata pelajaran tersebut
dinamai “Artes Liberalis yang tujuh”.
3) Teori
pengajaran Quantilianus telah memberikan lukisan tentang seluruh praktek
pengajaran di Roma pada jaman kaisar. Banyak teknik dan paham modern yang
diselenggarakan oleh Quantilianus, seperti papan meja, menuruti huruf timbul
dengan jari, mengarang seperti menulis tentang hal-hal yang dialami sendiri dan
sebagainya.
Dipostingkan selasa, 25-maret-2014 pukul 21:58
SUMBER:
http://id.wikibooks.org/wiki/Romawi_Kuno/Filsafat
Paudfip.wordpress.com/2009/06/18
Guislay.wordpress.com Art and Religion
Seni religius
atau seni sakral adalah citra artistik menggunakan inspirasi agama dan motif
dan sering dimaksudkan untuk mengangkat pikiran ke spiritual.
http://nathan-niec.blogspot.com/
Seni dan Agama
kaitan antara seni dan agama dapat dinyatakan sebagai
berikut:
·
Agama memerlukan perwujudan dalam bentuk benda
dan tindakan, baik untuk
mengungkapkan maupun membangkitkan emosi keagamaan di
kalangan pemeluk
kepercayaan suatu agama, agar agama benar-benar
dirasakan/dihayati manusia.
·
Kemampuan suatu benda atau tindakan untuk
mengungkap atau membangkitkan
emosi keagamaan bersandar pada daya simbolik yang dimiliki
oleh benda atau
tindakan tersebut.
·
Daya simbolik suatu benda atau perilaku
keagamaan bertumpu pada sistem
kepercayaan manusia terhadap keberadaan Yang Maha Kuasa.
·
Kemampuan suatu benda atau perilaku untuk
membangkitkan atau mengungkapkan
emosi keagamaan, pada dasarnya selaras dengan daya pesona
(enchantment) yang
dimiliki oleh benda atau perilaku seni.
·
Pesona yang dimiliki oleh benda atau perilaku
agama/seni tersebut merupakan efek
dari penerapan suatu teknologi (teknik) tertentu pada
material.
·
Oleh karenanya, benda atau perilaku agama
sebenarnya berkelindan (overlap) dan
berkorelasi dengan benda atau perilaku seni.
·
Perbedaan dan pergeseran tanggapan (transition)
terhadap gejala benda atau
perilaku seni/agama terjadi karena berlangsungnya transit
yakni perubahan atau
pergeseran konteks keberadaan gejala yang dimaksud.
·
Pergeseran tersebut dapat berlangsung dalam dua
arah: dari seni ke arah agama, dan
sebaliknya; dapat pula terjadi pergeseran ke arah
penggabungan yang tidak saling
meniadakan (sekaligus agama dan seni)
Dipostingkan selasa, 25-maret-2014 pukul 21:42
SUMBER:
http://en.wikipedia.org/wiki/Religious_art
http://www.javanologi.info/main/themes/images/pdf/Seni_dan_Agama-Lono.pdf
Kamis, 20 Maret 2014
Agama dan Kebudayaan
Agama dan kebudayaan adalah dua hal
yang sangat dekat di masyarakat. Bahkan banyak yang salah mengartikan bahwa
agama dan kebuadayaan adalah satu kesatuan yang utuh. Dalam kaidah sebenarnya
agama dan kebudayaan mempunyai kedudukan masing-masing dan tidak dapat
disatukan, karena agamalah yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada
kebudayaan. Namun keduanya mempunyai hubungan yang erat dalam kehidupan
masyarakat.
Geertz (1992:13), mengakatan bahwa
wahyu membentuk suatu struktur psikologis dalam benak manusia yang membentuk
pandangan hidupnya, yang menjadi sarana individu atau kelompok individu yang
mengarahkan tingkah laku mereka. Tetapi juga wahyu bukan saja menghasilkan
budaya immaterial, tetapi juga dalam bentuk seni suara, ukiran, bangunan.
katanatalius.com
Disimpulkan bahwa budaya yang
digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang
diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh
konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa
kondisi yang objektif.
Pengertian
Agama
Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti
tidak dan gama berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu
yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas
dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya,
dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai
kata benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang
agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya.
Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang
moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan
Pengertian
Kebudayaan
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia(1996: 149),
disebutkan bahwa “ budaya “ adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang
“kebudayaan” adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia,
seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Ahli sosiologi mengartikan
kebudayaan dengan keseluruhan kecakapan (adat, akhlak, kesenian, ilmu dll).
Sedang ahli sejarah mengartikan kebudayaan sebagai warisan atau tradisi. Bahkan
ahli Antropogi melihat kebudayaan sebagai tata hidup, way of life, dan
kelakuan.
Disimpulkan bahwa kebudayaan atau budaya menyangkut
keseluruhan aspek kehidupan manusia baik material maupun non material
Agama dan Kebudayaan
Seperti halnya kebudayaan agama
sangat menekankan makna dan signifikasi sebuah tindakan. Karena itu
sesungguhnya terdapat hubungan yang sangat erat antara kebudayaan dan agama
bahkan sulit dipahami kalua perkembangan sebuah kebudayaan dilepaskan dari
pengaruh agama. Sesunguhnya tidak ada satupun kebudayaan yang seluruhnya
didasarkan pada agama. Untuk sebagian kebudayaan juga terus ditantang oleh ilmu
pengetahuan, moralitas secular, serta pemikiran kritis.
Meskipun tidak dapat disamakan, agama dan kebudayaan dapat
saling mempengarui. Agama mempengaruhi system kepercayaan serta praktik-praktik
kehidupan. Sebalikny akebudayaan pun dapat mempengaruhi agama, khususnya dalam
hal bagaimana agama di interprestasikan/ bagaimana ritual-ritualnya harus
dipraktikkan. Tidak ada agama yang bebas budaya dan apa yang disebut Sang
–Illahi tidak akan mendapatkan makna manusiawi yang tegas tanpa mediasi budaya,
dlam masyarakat Indonesia saling mempengarui antara agama dan kebudayaan sangat
terasa. Praktik inkulturasi dalam upacara keagamaan hamper umum dalam semua
agama.
Dipostingkan kamis , 20-maret-2014 pukul 22:08
Dipostingkan kamis , 20-maret-2014 pukul 22:08
SUMBER:
Langganan:
Postingan (Atom)